Jumat, 12 Desember 2014

DESA KRISTEN DI BALI

Setelah hampir setahun saya menulis blog, akhirnya baru tersadar bahwa saya belum memiliki satupun topik tentang agama Kristen. Tapi mau menuliskannya juga bingung sendiri karena tidak tahu apa yang mau ditulis? Berhubung saya lahir dan besar di Bali, sepertinya cukup menarik kalau saya menuliskan topik tentang komunitas Kristen di pulau tersebut.
Cerita saya awali dengan membahas foto terlampir di bagian atas. Kebanyakan orang pasti akan tertipu dan beranggapan bahwa foto itu adalah prosesi agama Hindu di Bali. Jawaban tersebut ternyata salah. Foto tersebut adalah prosesi perayaan 75 tahun Paroki Tuka di Bali alias prosesi agama Kristen. (Sumber image: parokituka.com. Terima kasih untuk fotografernya).
Membahas tentang agama di Bali,  nyaris tidak ada jawaban lain selain Hindu. Namun sepertinya banyak orang tidak tahu bahwa Bali juga memiliki sejumlah desa Kristen yang artinya penduduknya mayoritas beragama Kristen. Ceritanya menjadi menarik karena warga di desa Kristen tersebut adalah penduduk Bali (bukan pendatang) dan yang lebih menarik lagi mereka tetap tidak meninggalkan adat dan budaya lamanya.  Dua contoh dari desa Kristen tersebut adalah desa Blimbingsari dan Pancasari.
Desa Blimbingsari
Desa yang terletak sekitar 25km ke arah barat pusat kota Negara, Jembrana. Desa Blimbingsari 99% memeluk agama Kristen.   Desa ini didirikan 1939 oleh seorang misionaris Belanda. Dengan dibantu oleh  puluhan pengikut orang Bali yang beragama Kristen melakukan perambahan hutan demi mewujudkan  impian memiliki desa sendiri yang bernuansa Kristen. Jadi tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa merupakan desa Kristen pertama di Bali karena mayoritas penduduknya beragama Kristen (Protestan)
Di desa ini belakangan menjadi populer sebagai daerah tujuan wisata dan dikunjungi oleh wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Sepintas sepertinya nyaris tidak ada bedanya dengan desa tradisional lainnya di Bali, baik dari bentuk bangunan yaitu  khas Bali,  pakaian,  bahasa bahkan nama penduduk di desa ini juga menggunakan nama Bali, Putu, Made, Nyoman dst.  Tentu saja karena seperti telah disebut di awal, penduduk desa tersebut adalah orang orang Bali, bukan pendatang yang datang dari pulau lain, jadi walaupun memeluk agama Kristen, mereka tetap mempertahankan budaya lamanya. Inilah yang membuat desa ini menjadi unik dan menarik.
Pada setiap hari raya penting seperti Natal, masyarakat menyambutnya dengan membuat  hiasan penjor. Penjor adalah hiasan yang umum dibuat oleh masyarakat Hindu Bali menjelang hari raya Galungan. Kemudian disaat kebaktian di Gereja, umat Kristiani datang dengan mempergunakan pakaian adat Bali. Demikian juga dengan  pendeta yang akan  memimpin acara kebaktiaan juga mempergunakan Bahasa Bali. Perayaan keagamaan di gereja juga dilengkapi dengan memperdengarkan gambelan Bali.
Desa Palasari
Desa Palasari terletak di Dusun Palasari, Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Jembrana. Secara geografi, lokasinya bisa disebut bertetangga dengan desa Blimbingsari. Komunitas ini dirintis oleh Pater Simon Buis SVD sejak 1940. Berbeda dengan desa Blimbingsari yang penduduknya adalah Protestan, di desa ini masyarakatnya mayoritas adalah Katholik. Tidak jauh beda dengan desa Blimbimbingsari, di desa ini identitas Bali tetap terasa, dipertahankan dan dilestarikan. Desa ini juga merupakan desa wisata atau tepatnya wisata rohani. Berbagai kegiatan rohani/keagamaan  baik yang berskala daerah maupun nasional sering diadakan di desa ini.

Opini Penutup

Komunitas Kristen di Bali relatif unik. Saya sebut unik karena walaupun sudah “membuang” agama lamanya, namun hal itu bukan berarti “membuang” budayanya.  Mereka masih tetap mempertahankan identitas keBali-annya. Indentitas keBalian yang saya sebut meliputi prosesi budaya, kesenian, pakaian ataupun nama dan panggilan. Kemudian dalam hal arsitektur atau bentuk bangunan gereja, hampir kebanyakan gereja di Bali adalah berasitektur Bali.
Bagi sebagian orang Bali, khusunya yang beragama Hindu, akulturasi budaya ini dianggap sebagai ancaman, ditanggapi negatif dan harus dicegah atau dikritisasi. Namun bagi sebagian orang Bali lainnya, bersikap lebih terbuka atau menganggapnya sebagai hal posiitif.  Tanggapan negatif yang dimaksud adalah ketidaksetujuan dan penolakan tertulis seperti blog dan media masa, bukan negatif dalam arti perusakan fisik. Kalau sampai perusakan itu namanya bukan lagi negatif tapi kriminal dan syukurlah (sepertinya) sampai sekarang kejadian semacam itu belum pernah terjadi di  Bali.
Tulisan ini hanya sekedar berita informasi belaka jadi sepertinya tiak pada tempatnya bagi saya untuk berpendapat. Namun untuk menyebutnya sebagai informasi atau berita sepertinya terlalu berlebihan karena isinya sangat jauh dari kaidah jurnalistik. Maklum saja, ini khan cuma blog abal-abal.
Ditulis dan disusun oleh:
Sumber image: (terima kasih untuk fotografer/pemilik image)
Photo atas : hidupkatolik.com
Photo 2 dan 3  : beritadaerah.com
Photo bawah : Lachlyn Soper
Catatan/Narasumber :
Tulisan ini dibuat dari narasumber pihak ketiga yaitu info media, blog serta  tetangga dan teman kerja (lama) penulis yang kebetulan adalah penduduk asli desa tersebut. Walaupun bukan dari laporan langsung dari lokasi, mudah mudahan tidak mengurangi unsur informasinya.
Referensi :

Rate this:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar